By
: Yun Sarneeta
Senja
baru saja menyapa cakrawala. Ku tatap lorong asrama yang sepi. Asrama sebelah
tampak ramai. Suara tawa terdengar hingga ke jalanan. Ku keluarkan buku
catatanku di barengi wajah kusut karena tidak tidur sejak semalam. Tampak wajah
Rere muncul dari balik gerbang. Wajah jengkelnya tampak semakin terang saat
melihat wajahku yang kusut.
“Hah, jangan bilang
kalau semalam kau tidak tidur lagi?”, sahutnya sambil mencampakkan belanjaannya
di lantai seraya duduk di sebelahku. Ku angkat keningku sebagai isyarat bahwa
aku tidak ingin menerima banyak pertanyaan. Rere menghela nafas dengan perasaan
bersalah. “Baiklah, aku akan ke kamar menaruh belanjaanku dan kembali ke sini.
Jangan lakukan hal yang aneh-aneh”, perintahnya sambil beranjak meninggalkanku.
Ku palingkan kepalaku mengikuti langkah Rere yang semakin meredup tertelan
lantai asrama. Ku ambil catatanku dan menaiki tangga. Pemandangan langit
menyambutku saat aku tiba di atap. Rere adalah salah satu senior yang tinggal
di asrama ini. Aku heran mengapa dia sangat peduli padaku. Hah, dunia ini
menjadi semakin rumit saja. Ku teruskan langkahku menyusuri pinggiran semen di
atap.
“Yun!!!!!!!!”, teriakan
Rere membuat kepalaku berpaling ke arah tangga dengan cepat. Rere buru-buru
mendatangiku, ia tampak ngeri melihatku berdiri persis di ujung tepian lantai
atap asrama. Ia terlihat menjaga jarak.
“Apa yang kau lakukan,
kemarilah”, bujuknya. Aku hanya memikirkan sesuatu. Aku cukup waras untuk tidak
melompat dari atas asrama, mengapa ia begitu berlebihan?, pikirku. Aku melompat
kecil sambil berjalan pelan ke arahnya. Ia buru-buru menarikku dan mengajakku
duduk
“Ingat dengan janjimu
tadi bahwa kau tidak akan kemana-mana?”, sahutnya jengkel sambil mengunyah
permen karet yang di ambil dari kantung jaketnya.
“Aku tidak berjanji
padamu”, sahutku pelan.
“Ayolah Yun, kau harus
move on, jangan begini terus. Kau tidak ingin kembali ke sana kan?”, nasehatnya
padaku dengan nada khawatir.
“Umm”, jawabku sambil
memasang headset ke telinga kiriku. Ku palingkan mataku ke pojok kiri atap.
Sedikit demi sedikit aku mulai mengingat bagaimana aku melompat dari sana empat
bulan lalu. Yah, begitulah Rere memberitahuku saat aku sadar. Waktu itu aku
mabuk berat hingga tak ingat apapun. Sejak saat itu, semua orang di kampus dan di
asrama menganggapku gila. Mereka bahkan membawaku ke tempat penampungan. Baru
dua minggu yang lalu aku keluar dari sana. Entahlah, aku hanya ingin mereka
mempercayaiku, itu saja.
“Haahhhhhhh”, desahku
sambil berbaring di lantai.
“Hei, seseorang ingin
menemuiku di bawah kau tak apa ku tinggal sendirian?”, tanya Rere sambil
beranjak ke posisi berdiri.
“Aku ingin ke toko”, jawabku
sambil beranjak menuruni tangga.
Jalanan sempit
menyambut tiap langkah kaki yang tercetak. Kata Ibu, ada yang akan
mengunjungiku jumat ini. Seorang teman lama. Ku angkat pandanganku ke langit
saat suara pesawat menghiasi pendengaran. Aku ingat pesawat itu. Tapi entahlah,
itu terlalu sulit.
“Hei, kau”, kepalaku
berpaling ke arah suara itu.
“Kau…….”, aku masih
hendak berpikir lebih lama.
“Hah, aku lupa
keadaanmu. Icha”, sahutnya.
“O..Ohhh!!!”, jawabku.
Aku ingat dia sekarang. Dia adalah salah satu teman baikku. Kami berteman sejak
penerimaan mahasiswa baru di kampus. Dia tinggal di asrama sebelahku.
“Bagaimana kabar yang
lainnya?”, tanyaku bersemangat.
“Hah! Sekarang kau
menanyakan kabar mereka?? Aku bahkan tidak yakin kau bisa menyebut nama-nama
mereka satu per satu. Kau tahu? Gara-gara kau, nilai kami ujian kemarin anjlok
semua! Gerakanmu terlalu lambat untuk praktek lapangan”, sahutnya. Makin lama,
intonasinya semakin mengintimidasi.
“Maaf, aku hanya, aku
hanya tak mau menyusahkan kalian”,
ungkapku merasa bersalah.
“Hah!! Minta maafnya sudah
terlambat. Kau mau tahu caranya agar aku dan yang lainnya bahagia? Menjauhlah
dari hidup kami!”, Icha berjalan melewatiku begitu saja. Aku masih berdiri di
sana, aku hanya merasa…..
“Maaf, harusnya aku tak
berbicara dengan orang gila”, sembur Icha kembali saat melihatku masih berdiri
tegak di tengah jalanan.
Tuhan,
aku hanya sakit sesaat bukan? Mengapa mereka semua kini menjauhiku pula? Bukankah
mereka berkata bahwa kami adalah teman? Bahwa mereka rela menerimaku apa
adanya? Aku cuma sakit sesaatkan? Apa yang salah denganku? Ku coba menelusuri
nalarku dan mencari nama teman-temanku di sana. Ya Allah, aku tak tahu siapa
nama-nama mereka. Aku terlalu sulit untuk memikirkan itu. Aku hanya butuh
waktu. Aku hanya—
***
Cahaya
lampu membuat mataku perih. Ku kedipkan mataku beberapa kali dan mendapati
diriku sedang berbaring terbalut selimut tipis. Udara AC yang khas tercium dan
rasa keram karena infus di tangan kananku mulai terasa. Rasa kaget dan
penasaran membajak seluruh tubuh. Aku bangkit dan memalingkan kepalaku ke kiri
dengan gerakan cepat dan seseorang menangkap tubuhku di sana.
“Tenanglah..”, katanya
sambil membelai kepalaku dengan lembut. Mataku mulai menyusuri tiap garis
wajahnya. “Tenaglah sayang, tenganglah..”, sahutnya kembali dengan lembut.
“Aaa..”, otakku masih
berpikir keras. Aku mengenalinya. Yah,aku pernah bersamanya di suatu tempat.
Mungkinkah ?
“Ibu?”, sahutku
ragu-ragu.
“Akhirnya. Kemarilah
Nak”, hangat tubuh Ibu membuatku merasa tenang. Aku bisa merasakan kekhawatiran
yang membelenggunya. Aku tak ingin menyusahkannya lagi. Sudah tiga kali ia
harus terbang dari kampung halamanku ke sini hanya untuk melihat keadaanku
saja. Entahlah, aku bahkan membayangkan bagaimana rasanya jika anakmu tak
mengenalimu sama sekali. Ada apa denganku?
“Maafkan aku Ibu”,
ungkapku saat pelukannya mulai mengendur. Di usapnya rambutku dengan lembut.
“Senang melihatmu
baik-baik saja”, ucapnya sambil tersenyum. “Oh ya, kemarin Faya yang membawamu
ke sini”, sambungnya sambil mengupas pisang kemudian memberikannya padaku.
“Ha? Faya?”, tanyaku
semakin bingung.
“Iya Nak. Kamu pingsan
hampir dua hari. Sebentar lagi pukul sepuluh malam”, jelasnya sambil tersenyum.
Nalarku
kembali ke sana. Ke suatu tempat yang penuh dengan keegoisan akan yang terjadi
pada diri ini di masa lalu. Aku kembali mengingat pesawat itu. Sebuah tempat
yang penuh dengan hamparan bintang dan langit malam. Seseorang yang aromanya
sangat aku kenali, menyusul manisnya cokelat yang ia berikan padaku. Pesawat
itu ada di sana. Munkinkah? Aku hanya begitu sulit mengingatnya. Seolah kau
menulis penuh di selembar kertas kamudian angin menerbangkannya begitu saja.
Begitu sulit mencarinya di dunia yang luas ini. Ku baringkan kembali tubuhku.
Ku jelajahi tubuhku dengan tatapan bingung.
“Ibu!! Baju siapa yang
aku kenakan??!”, seruku kaget.
“Oh, itu jaket Faya. Ia
memakaikannya kepadamu sebelum suster membawakanmu selimut. Karena kau tidak
sadar-sadar juga, makanya jaket itu tetap menempel di badanmu”, jelas Ibu
sambil tersenyum. “Sebentar lagi dia kembali”, sambungnya sambil membereskan
pakaiannya.
Masih
terbalut kebingungan, ku lepaskan jaket itu dari tubuhku. Jaket merah hitam
dengan tulisan salah satu club bola internasional di belakangnya. Seleranya
bagus juga, fikirku sammbil meletakkan jaket tersebut di samping pembaringan.
“Ibu pulang ke rumah Om
mu dulu yah, Faya sudah ada di tempat parkir. Nanti Ibu naik taxi saja”,
jelasnya sambil mengecup keningku. Rasa penasaran dan tidak rela merambati
tubuhku.
“Ibu ingin
meninggalkanku?? Dengan…..”, raut mukaku mulai kusut. Ibu memandangiku dengan
raut wajah tidak percaya.
“Kau, kau tahu Faya
kan??”, tanyanya sambil mendatangiku lebih dekat.
“Ummmm, uummmm seorang
teman lama. Iyakan??”, sahutku sambil tersenyum kikuk. Ibu mendesah. Raut wajah
khawatir bercampur kasihan melihat putrinya dengan sejuta kekurangan. Oh Tuhan,
aku hanya kebingungan. Aku dan Ibu terkejut saat pintu terbuka. Seorang pemuda
masuk dan membawa dua kantung yang berisi roti dan buah. Posturnya lumayan,
fikirku. Fayakah??
“Ah, kamu sudah
datang”, seru Ibu bersemangat sambil tersenyum. Pemuda tersebut membalas
senyuman Ibu. Dia manis, fikirku.
“Ibu pergi dulu ya?
Kamu baik-baik”, kata Ibu sambil membelai kepalaku dengan lembut. Setelah itu
ku pandangi kepergiannya dengan perasaan campur aduk. Pemuda tadi duduk di
samping tempat tidur. Ya ampun, mengapa aku bisa segugup ini? Jantungku mau
copot rasanya.
“Kau sudah makan?”,
tanyanya.
“Ummm, belum. Aku baru
sadar beberapa waktu yang lalu”, jelasku agak kikuk.
“Aku tahu. Senang
melihatmu kembali”, sahutnya tersenyum sambil menggenggam tanganku. Ku pandangi
ia dengan lekat. Mata itu, apakah aku mengenalnya? Tapi aku suka senyumanya. Spontan
aku pun tersenyum. Pemuda itu tertawa melihat ekspresiku.
“Aku juga membawakan
cokelat kesukaanmu, tada!!!”, ucapnya sambil memamerkan cokelat batangan yang
kini telah menghiasi genggamanku.
“Terima kasih uummm
Faya”, sahutku ragu-ragu. Pemuda itu menatapku sejenak kemudian membalutku
dengan dekapannya. Aku seolah melihat sebuah tempat. Dimana hanya ada taburan
bintang. Bulan enggan untuk muncul. Dan pesawat itu??
“Kau akan segera pulih
Ca”, ada yang bergetar di ujung kalimatnya. Sedekat inikah aku dengan pemuda
ini? Dan mengapa aku membiarkannya memelukku begitu saja? Spontan ku tundukkan
kepalaku di pundaknya. Aromanya familiar. Aku seolah melihat sebuah ruangan. Ruangan
yang penuh akan kedamaian diamana aku selalu tertawa dan melupakan sejenak
kesedihanku. Tapi—
“Ku ambilkan makanan
yah”, kata pemuda itu sambil membelai pipiku dengan lembut. Aku hanya
mengangguk pelan sambil meneliti pemuda ini dari belakang. Entahlah, tapi aku
merasa ia adalah pemuda yang baik. Aku hanya ingin semua kebingungan ini
berakhir.
***
Udara
di lorong terasa pengap. Sebentar lagi senja. Dua hari yang lalu aku keluar
dari rumah sakit dan hari itu pula Ibu pulang karena harus mengurusi berbagai
hal. Pemuda itu sering sekali mengunjungiku. Tapi mengapa hari ini ia sangat
lama?? Rere baru saja duduk di sampingku saat pikiranku akan pemuda itu mulai
menjadi-jadi.
“Kau pasti senang.
Apakah Faya akan lama di sini?”, tanyanya.
“Aku tak tahu”, jawabku
datar.
“Loh? Mengapa mukamu
kusut seperti itu? Hhmmm, dia adalah pemuda yang baik”, ungkap Rere.
“Kau mengenalnya
juga?”, tanyaku sambil menguyah cemilanku. Rere tampak terkejut.
“Jelas aku mengenalnya.
Aku dan dia dulu adalah sahabat baik. Denganmu juga”, jelasnya sambil menatap
lurus ke depan. Rambutnya yang pendek di permainkan angin.
Aku? Faya dan Rere?
Berapa hal lagi yang orang lain tahu tentangku dan aku tidak? Apa sebenarnya
yang di katakan orang-orang di rumah sakit saat aku—
“Eh, itu dia!”, seru
Rere saat motor Faya baru saja terpakir di depan asrama. Aku ingat jaket itu. Jaket
yang ku pakai saat di rumah sakit kemarin.
“Rere? Lama tak
melihatmu”, sahut Faya sambil menjabat tangan Rere.
“Ah, aku juga tinggal
di sini kan? Bagaimana kabarmu?”, tanya Rere kembali.
“Saya? Hmmm, seperti
biasa, baik kok. Kamu?”, mereka terdengar akrab.
“Aku? Haha baik juga
kok. Tampaknya kau sekarang sangat sukses”, goda Rere.
“Ah, belum maksimal sih
tapi Alhamdulillah”, mereka mulai tertawa bersama. Ada kejanggalan di sini.
Rasa aneh di batinku menjelma menjadi keegoisan. Ku tarik tangan Faya dan
menuntunnya ke atap. Rasa aneh itu masih menguasai tubuhku. Setelah di atas
barulah ku lepasnya tangannya. Astaga? Mengapa aku melakukan hal bodoh? Apa
nanti yang Rere akan katakan? Dan Pemuda ini?. Ku langkakan kakiku ke tepian
atap. Ku palingkan kepalaku ke arah Faya yang masih berdiri di sana. Satu
senyuman menghiasi bibirnya. Aku suka senyuman itu. Lambat laun ia datang
menghampiriku.
“Masih agak panas di
sini. Mau jalan-jalan?”, tanyanya. Mukanya mengernyit karena cahaya matahari.
“Umm!!”,seruku sambil
tersenyum.
Sambil
bercanda kami mulai menuruni tangga. Rere sudah tak ada lagi di situ. Baguslah,
fikirku. Kami mulai mengendara. Yah sekitar tiga puluh menit. Pantai tampak
ramai oleh pengujung. Dia mengajakku ke pantai di tengah-tengah kota? Pemikiran
yang bagus. Aku suka pemandangan laut, yah aku ingat kalau aku suka yang satu
ini. Pemuda itu tersenyum sambil menggenggam tanganku menyusuri keramaian. Pada
salah satu huruf-huruf besar yang menuliskan nama tempat itu ia mengajakku
duduk.
“Hahhh, lamanya tidak
ke sini”, ungkap kami dalam waktu yang bersamaan. Detik berikutnya kami saling
berpandangan karena rasa terkejut yang mendatangi. Kami saling melepas tawa
untuk menyamarkan rasa grogi.
“Kau ingat pernah ke
sini?”, tanya Faya. Aku mengangguk.
“Aku pernah ke sini.
Rasanya sudah lama sekali”, kataku sambil menghela nafas.
“Kau ingat dengan siapa
kau datang?”, tanyanya kembali.
“Ummm, entahlah.
Pokoknya aku pernah ke sini, aku yakin pernah ke sini”, jawabku sambil
berpikir-pikir. Batinku kembali bergejolak. Aku tahu tempat ini. Hanya saja
waktu itu terlihat lebih gelap. Aku ingat saat aku duduk di patung huruf yang
sama. Aku ingat saat—
“Ini untukmu”. Sebatang
cokelat yang masih terbungkus rapi. Faya tampak berdiri di sampingku. Dengan
raut muka malu-malu ku ambil cokelat itu dari genggamannya.
“Sejak kapan kau
membelinya?”, tanyaku.
“Ummm, baru saja!”,
ucapnya sambil senyam senyum. “Kau begitu sibuk hingga aku beranjak ke toko
seberang pun kau tak tahu. Apa yang sedang kau pikirkan?”, sambungnya seraya
duduk di sampingku. Ku buka bungkus cokelat yang ku pegang sambil bercerita.
“Entahlah, aku
seolah-olah teringat sesuatu. Seperti sebuah tempat yangmengingatkan aku pada
sesuatu yang penting. Tapi aku tak ingat peristiwa seperti apa. Aneh”, ungkapku
sambil menguyah cokelat yang kini ku sodorkan padanya pula.
“Kau tak usah memaksakannya”,
balasnya sambil menerima coklat yang ku sodorkan.
“Kau tahu, aku ingin
menanyakan sesuatu”, Faya memperbaiki letak duduknya sambil memasang raut wajah
sebagai pengganti “oke”.
“Kau mengenal Rere?”,
tanyaku.
“Yah, aku mengenalnya
karena kami dulu sama-sama KKN, dia orang yang pernah ku ceritakan padamu”,
ungkapnya membuatku semakin bingung. Kapan ia cerita mengenai Rere padaku? Dan
mengapa aku merasa perlu tahu? Haruskah aku bertanya apa hubunganku dengannya
hingga terlihat sedekat ini?
“Kau? Cerita padaku?
Rere?”, kataku bingung. Ia mengginggit bibirnya sejenak.
“Yah, dialah teman KKN
yang selalu rajin membuatkan kopi untukku tiap pagi, bertanya apakah aku tidak
kelelahan, memasakan sesuatu untukku, yah dan hal-hal semacamnya”, jelasnya
padaku.
“Aa!! Wanita itu yah.
Cinta KKN”, aku ingat bagian ini. Ia pernah bercerita tentang ini. Aku lupa
kapan.
“Hahaha”, semburnya
sambil menggenggam tanganku.
Malam kini menjemput.
Setelah melakukan ibadah di mesjid terdekat, kami pun kembali ke pantai. Pulau
yang tidak begitu jauh di seberang tampak tak terlihat di kegelapan.
“Aku ingin ke sana”, ungkapku
pada Faya sambil menunjuk bayangan pulau yang terlihat samar di keremangan.
Faya tampak terkejut.
“Yunita, kau ingin ke
sana?”, tanyanya dengan nada pelan “Mengapa?”.
“Ummm, entahlah. Aku
merasa kalau aku pernah mengalami sesuatu yang menyenangkan di tempat itu.
Kalau memang sulit untuk ke sana kita tidak usah pergi—“.
“Ayo ke sana!”, serunya
bersemangat. Ku balas senyumannya dan membiarkan ia menggenggam tanganku hingga
ke tempat parkir.
Malam
ini langit kembali menunjukkan pesonanya ke seluruh isi bumi. Ku pejamkan
mataku saat terpaan angin mulai menerbangkan oksigen ke permukaan kulit. Laju
motor yang pelan dan suasana yang familiar membuatku merasa semakin nyaman
berada di sisi pemuda ini. Aromanya membuatku teringat sesuatu. Sesuatu yang
besar. Sesuatu yang ku pikir telah aku lewatkan sejak ratusan hari lamanya.
Tuhan? Mengapa harus ada kabut jika ia hanya akan membuat buta? Mengapa harus
ada rasa dingin saat angin sudah cukup menyiksa dengan terpaannya yang keras? Terasa
tekanan ringan di otak kiriku. Motor baru saja membelok dan memasuki sebuah
kawasan sepi. Banyak motor dan orang di sekitar situ. Tapi semuanya
berpasang-pasangan. Faya menghentikan motor persis di tepian dermaga tidak
sempurna itu. Mataku berkedip kagum saat pijar lampu pantai di tengah kota
terlihat begitu indah di seberang pulau ini. Hotel-hotel tinggi pun terlihat
menawan dengan lampu berbagai warna. Cahaya alam berpadu dalam refleksi yang membaur
dengan genangan air laut yang naik turun. Aku ingat ini! Yah, aku ingat!! Aku
ingat saat pemuda itu membasuh air mataku dan berkata bahwa aku harus tegar saat
ia pergi!! Aku ingat saat dimana ia mendekap tubuh mungilku dan berkata bahwa
menemuiku adalah anugerah terbesar dalam hidupnya, aku ingat saat dimana ia
berkata untuk pertama kalinya bahwa ia tidak sanggup membayangkan apabila ia
terbangun di pagi hari dan ia tidak melihatku di sekitarnya. Aku ingat! Aku
ingat!! Aku ingat saat dia menemaniku menghitung pesawat di atap saat peasaanku
mulai kalut! Aku ingat senyuman itu, aku ingat! Faya tunanganku? Aku ingat saat
aku—
“Faya!!”, seruku. Detak
jantungku berdebar dua kali lebih cepat. Nafasku naik turun terbawa perasaan
yang campur aduk. Aku ingat saat Faya telah berjanji untuk datang dan dia tidak
ada di sana! Dia tidak ada di sana saat aku begitu kalut karena harus merelakan
kepergian ayahku ke pangkuan-Nya. Aku ingat saat ku biarkan diriku tersiksa
dengan botol-botol minuman itu. Ia sudah janji kan?? Aku ingat….. Ia telah
berjanji untuk datang.
“Ya…?”, jawabnya sambil
mendatangiku dengan tergesa-gesa.
“Mengapa waktu itu
kau tidak datang?”, tanyaku. Suaraku
bergetar menahan emosi. Semuanya ibarat meledak bagai bom di segala penjuru otak.
Sel-sel yang masih bersemayam di tubuh seolah menguap oleh rasa yang sulit
untuk dinarasikan.
“Yun…”, Ucapnya tak
percaya dengan apa yang dia lihat.
“Kau sudah berjanji
bukan?!! Mengapa kau tidak datang?!!!”, seruku semakin menjadi-jadi. Air mata
mulai tumpah tetes demi tetes di pipi kanan dan kiri.
“Ca, I’ am so sorry”,
ucapnya sambil berusaha menyentuhku.
“Jangan panggil aku
dengan nama itu lagi. Kau bilang kau akan datang. Tiga kali kau berjanji
padaku! Maaf, aku hanya ingin—maaf.. maafkan aku sudah membentakmu”, kedua
kakiku terasa lemas. Aku terduduk begitu saja di tepian dermaga. Aku hanya tak bisa menahannya. Semua jatuh menimpa
kepala dan batin. Air mataku tak mau berhenti keluar.
“Maafkan aku. Aku sungguh
ingin datang saat itu. Tapi aku betul-betul tidak bisa. Aku sedang mengurusi
pernikahan kakakku. I’ am so sorry baby”, ku biarkan tubuhku tertelan ke dalam
kedapannya. Ya Tuhan, aku sungguh merindukan pemuda ini. Aku tak percaya aku
tak mengenalinya.
“Sudah, sudah. Kau
tidak apa-apa?”, tanyanya sambil mengangkat
wajahku. Entahlah, aku hanya tak bisa menghentikan air mataku yang jatuh
semaunya.
“Tidak mau berhenti”,
aduku dengan kalimat putus-putus. Ia tersenyum, lalu dengan gerakan pelan ia
menghapus air mataku dengan punggung jemarinya.
“Sudah yah?”, bujuknya
padaku. Ku palingkan wajahku dari arahnya untuk menyembunyikan rasa maluku
mengingat ini adalah kesekian kalinya aku kelepasan menangis di hadapannya.
“Umm”, jawabku singkat.
“Sekarang bagian
terpentingnya”, ucapnya membuatku menatapnya dengan pandangan kaget.
“Ha?”, tanyaku bingung.
“Permintaan maafku di
terima?”, tanyanya sambil tersenyum. “Maaf ya?”, sambungnya sambil mengusap
kepalaku dengan lembut.
“Hahhhh, aku memang
tidak bisa menolakmu”, jawabku sambil tersenyum.
“Haha, baiklah. Ayo
pulang dan katakan kabar berita ini pada Rere dan yang lainnya”, ucapnya sambil
menuntunku menuju motornya yang terparkir tidak jauh dari situ.
“Rere? Yah, aku ingin
sekali menemuinya”, ungkapku dengan nada datar. Aku ingat semua ini. Sebuah
memori yang membuat hidup ini menanjak dan menurun dengan alaminya. Sebuah
putaran kisah yang besar melampaui lautan yang dapat di jangkau oleh panca
indera. Motor melaju kencang saat lampu merah terakhir terlewati dengan
selamat. Dinding asrama mulai terlihat saat tikungan terakhir dilewati. Motor
terparkir dengan sempurna dan aku pun turun dari sana. Ku langkahkan kakiku
dengan cepat melewati pintu-pintu kamar yang berjejeran. Ku letakkan helmku di
atas meja dan berjalan dengan cepat menuju kamar Rere. Ku buka pintunya dan dia
tak ada di sana. Aku kembali ke beranda depan dan memanggil nomornya di
ponselku. Faya tampak kewalahan mengikutiku.
“Ada apa? Mana Rere?”,
tanyanya.
“Halo? Kau dimana? Di
atap? Oke”, telpon terputus dan aku mulai membajak tangga dengan kaki-kaki
mungilku. Langkah kaki Faya terdengar lebih berat di belakangku. Anak tangga
terakhir terpijaki dan tibalah aku di atap. Tampak Rere berdiri di pojok kiri
atap yang kosong. Tepian yang menjadi tumpuan akhir kaki ini sebelum tubuh ini
jatuh dan menimpa beton yang keras di bawah. Rere menoleh dan tersenyum padaku.
Ia melangkah pelan mendekatiku.
“Yunita, kau sudah
pulang? Mengapa kau—“, satu tamparanku mendarat di pipinya sebelum kata-kataya
merangkai kalimat yang sempurna.
“Ca??! Hei….
Tenanglah”, Faya menarikku ke belakang menjauh dari Rere. Wajah Rere tampak
pucat pasi. Nafasku naik turun menahan emosi yang meledak karena lama di
sembunyikan dalam jiwa yang kehilangan memori penting. Dan kini saat memori itu
kembali, aku tak bisa menahannya lagi.
“Yunita….”, ucap Rere
tidak percaya.
“Jangan berpura-pura
baik lagi denganku. Aku tahu apa yang kau lakukan kemudian memperlakukanku
seperti orang bodoh saat ingatanku mulai menjadikanku seperti orang gila. Aku
ingat semuanya Rere. Aku ingat saat kau
mengatakan bahwa Faya harusnya lebih pantas dengan orang sepertimu. Bahkan kau
mengaku sama orang-orang di asrama sebelah bahwa kau adalah pacarnya. Mau
katakan sesuatu?”, sahutku dengan nada pelan. Genggaman Faya terlepas saat
kata-kataku mulai meluncur satu-persatu.
“Apa?”, ucap Faya tak
karuan.
“Aku tahu, kau
memanfaatkan momen saat ayahku sakit dan akhirnya meninggal untuk bisa dekat
denganku dan mendekatinya juga. Kau juga yang mengajakku minum waktu itu kan?
Dan bodohnya, aku mempercayaimu bahwa kau tak akan membodohiku seperti ini. Mau
tahu sesuatu yang mengganjal di otakku selama ini? Mengapa kau mendorongku dari
atap?!!! Mengapa kau lakukan itu? Aku mungkin mabuk, tapi aku masih cukup waras
Re. Sekarang maukah kau bercerita?”, semakin lama nadaku semakin meninggi. Faya
semakin terkejut. Pandangannya tak lepas dari Rere. Di depan sana, Rere tampak
diam seperti patung. Dengan gerakan pelan ia membuka jaketnya, membiarkan
kemeja tipinya dipermainkan angin malam.
“Kau tahu, mungkin kau
tidak akan percaya tapi sungguh, aku tak sengaja melakukannya. Awalnya
sebenarnya akulah yang akan jatuh ke bawah sana tapi aku menimpamu dan kaulah
yang terjatuh. Aku terlalu takut untuk mengaku. Aku hidup dengan perasaan
bersalah selama ini. Dan masalah Faya, okelah maaf. Aku hanya belum bisa
melupakannya. Aku tak bisa melupakannya. Aku merasa bahwa akulah yang pertama
melakukan hal-hal special itu padanya. Akulah yang pertama memasakkannya dan
membuatkannya kopi di pagi hari dan aku tak ingin ada wanita lain yang menggantikan
posisiku. Saat mendengar kalian berdua pacaran, hatiku sangat hancur. Mendengar
kalian telah bertunangan, hatiku lebih hancur lagi. Tapi aku masih belum bisa melupakanmu Faya. Maafkan
aku Yunita. Maafkan aku sudah membujuk Ibumu agar kau di bawa ke tempat
penampungan. Maafkan aku”, sahutnya dengan nada pelan. Air matanya mulai berlinangan.
“Aku hanya tak
menyangka”, sahut Faya dengan nada bergetar.
“Mengapa kau tak bisa
mencintaiku sepertinya Fay”, tanyanya pada Faya.
“Karena kau tidak
sepertinya”, jawab Faya singkat. Tangisan Rere semakin membesar. Langkahnya
semakin munduk ke tepian.
“Yunita, maaf. Aku
betul-betul tidak sengaja. Aku sama sekali tidak berniat membunuhmu. Kau tahu,
aku sangat ketakutan”, ungkap Rere.
“Masing-masing manusia
punya kesalahan kan? Tapi maaf, ini tidak akan seperti yang dulu lagi. Jangan
ganggu kami lagi”, ucapku sambil memalingkan wajahku dari pandangan Rere.
“Terima kasih Yun. Tapi
maaf, aku tak bisa melepaskan Faya begitu saja. Jadi mari bersaing dengan
sehat”, kataya sambil menjulurkan tangannya padaku. Aku tertawa sinis sambil
memperbaiki letak rambutku.
“Dia tunanganku.
Mengapa aku harus bersaing untuk mendapatkannya?”, semburku.
“Setidaknya kita
salaman sebagai tanda bahwa kau memaafkanku dan aku akan menjauhimu”, kata Rere
sambil menghapus air matanya. Ku langkahkan kakiku menuju tepian sambil
menyambut tangannya.
“Kau tahu Yun, aku
tidak akan rela!”, ia menarikku dan menyentakkanku ke tepi gedung. Badanku
tersentak dan bergerak jatuh dari atas asrama. Sebuah tangan menarikku kembali
ke atas. Faya berteriak seraya menarik tangan dan jaketku untuk kembali ke
atas. Rere bergerak mendorongku dengan sekuat tenaga, tapi tubuhku sudah
terlanjur terangkat ke atas. Rere hanya menabrak udara kosong dan akhirnya ia
jatuh ke bawah. Hanya suara teriakannya saja yang terdengar.
“Rere!!!!”, seruku.
Biar bagaimana pun aku tak ingin ia mati. Aku tak ingin siapapun mati. Tubuh
Rere tampak berlumuran darah di bawah sana. Oh Tuhan, lindungilah kami. Faya
mendekap tubuhku yang gemetaran.
Alam
menjadi jalan yang berliku. Kehidupan yang naik turun seperti air, mengambang
seperti udara. Isi bumi yang berdesakkan mencari kedamaian. Malaikatku telah
kembali dan aku akan mengingat ini. Aku ingat bahwa Tuhan tidak buta dan selalu
ada kebahagiaan di balik tinta hitam yang membuat layar hidup menjadi kotor,
yah mereka akan selalu ada.
END